Waktu untuk Cinta

Standard

Kita mencintai sesuatu dengan kesadaran bahwa kelak sesuatu itu mungkin hilang.
–G.K. Chesterton

Ketika anakmu tidak pantas memperoleh cintamu, sebenarnya dia justru sangat membutuhkannya.

Nasihat bijak ibuku itu terngiang-ngiang di kepalaku. Kata-katanya menggema di kepalaku, mendorongku untuk maju, membuatku tegar dan berani.

Sambil memundurkan truk sewaan ke arah tangga bobrok di depan rumah bercat kuning kusam yang sudah lapuk, aku menahan tangis. Badanku bergetar karena ngeri. Pikiranku berlomba dengan dua harimau liar yang siap saling menerkam. Dua pemuda berotot, kawan putriku, melompat turun dari bak truk. Bersenjata tongkat bisbol, mereka menerjang pintu depan lalu menghilang ke dalam rumah, mencari putriku atau mayatnya. Aku berdoa memohon keselamatan untuk kami semua.

Bagaimana kami bisa sampai ke tempat ini? Sebagai orangtua tunggal, aku berusaha keras untuk mengajarkan nilai-nilai moral yang diajarkan orangtuaku kepada kedua putriku dan kepada murid-muridku di sekolah. Sebagai guru, salah satu hal yang membuatku gembira adalah jika kedua putriku membantuku di kelas. Kami adalah tim yang kompak.

Tetapi ketika masa remaja tiba, semua jadi kacau. Waktu umur tujuh belas, Rebecca, putri bungsuku, memberontak dan menggelandang di jalanan setelah kami bertengkar mengenai aturan-aturan yang menurutku sangat penting dan harus ditegakkan di dalam rumahku. Dia kabur dari rumah. Tak punya sisa tenaga untuk menghadapi kepedihan dan kekacauan, kubiarkan dia pergi. Kemarahan dan frustasi di kedua belah pihak menjadi tak tertahankan. Sikapnya yang kurang ajar dan kata-kata kasar yang dilontarkannya selama beberapa tahun terakhir ini membuatku merasa seperti hidup di ambang neraka. Aku putus asa, karena itu kubiarkan dia bebas. Kukira, dengan begitu aku pun akan merasa bebas.

Dan pada suatu sore, seorang kawan yang tak mau menyebutkan namanya meneleponku. Aku tahu, suatu saat kabar buruk itu pasti akan disampaikan kepadaku. Aku mengharapkan kabar itu, tetapi sekaligus juga tidak ingin mendengarnya. “Putri Anda kena pneumonia. Sakitnya parah, kadang-kadang sadar, kadang-kadang tidak. Sudah berhari-hari dia tidak makan. Anda ibunya, satu-satunya harapan hidupnya. Datanglah dan jemputlah dia.”

Perasaan marah dan benci yang kupendam dalam hatiku menggelegak lagi. Tetapi aku mendengar bisikan ibuku yang sekali lagi berkata, “Ketika anakmu tidak pantas memperoleh cintamu, sebenarnya dia justru sangat membutuhkannya.” Aku ingat bagaimana ibuku selalu datang padaku setiap kali aku merasa sangat membutuhkan cintanya. Dia tidak pernah meninggalkan aku dan sekarang giliranku. Anakku membutuhkan aku; aku tak boleh mengabaikan dia.

Aku segera bertindak. Aku menelepon salah satu kawan lamanya, menyewa truk, dan di sinilah kami.

Aku menunggu dengan cemas. Mataku terpaku pada pintu. Dan dalam hati aku mendaraskan doa keras-keras. Semoga dia masih hidup. Izinkan aku membawanya pulang. Berilah hamba satu kesempatan lagi untuk mencintainya, mengasuhnya dan membimbingnya agar kesehatannya segera pulih dan hidupnya kembali normal.

Pada saat itu, kedua pemuda itu muncul sambil memapah sosok ketiga di antara mereka. Jantungku berdetak kencang. Aku menahan tangis sambil membuka pintu truk. Dengan hati-hati mereka membaringkan putriku di tempat duduk di sampingku. Ketika dia bersandar pada bahuku, dalam hati aku bersyukur kepada Tuhan karena diberi kesembatan kedua. Sambil menahan tangis, untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan aku bicara pada Rebecca.

“Ibu sangat bersyukur kau selamat. Ibu sangat mencintaimu, Nak.” Rebecca menengadahkan wajahnya yang kuyu dan berbisik lirih, “Terima kasih, Bu.. Aku juga mencintai Ibu.”

Beberapa tahun kemudian, seorang kawan meneleponku ketika aku sedang duduk-duduk pada suatu malam. Dia berkata, “Ada e-mail untukmu di sini, dari Rebecca.” Setelah kesehatannya pulih, Rebecca ikut sekolah malam dan sekarang sudah menjadi wanita muda yang meningkat dewasa. Dia pergi ke luar negeri untuk menyembuhkan jiwanya dan menemukan jati dirinya. Sekarang dia di Korea, mengajar bahasa Inggris.

Ketika membaca suratnya, sekali lagi airmataku menitik.

Ibu sayang,
Aku mencintaimu lebih dari apa pun di dunia dan aku berterima kasih untuk semua yang telah Ibu lakukan. Kalau bukan karena Ibu, mungkin aku sudah mati. Aku takkan pernah dapat membalas Ibu, tetapi aku bisa menyatakan cintaku pada Ibu setiap hari. Aku sudah bertambah dewasa. Aku tak mungkin kembali menjadi diriku yang dulu, atau bergaul dengan teman-temanku yang itu. Aku jauh lebih baik sekarang. Aku pandai, cantik, dan penuh semangat hidup. Aku sudah menemukan diriku dan siap untuk memulai hidupku. Aku akan pulang.

Saat itu, ketika airmata syukur menitik, aku ingat akan ibuku, akan cintanya dan kata-kata bijaknya yang tak lekang di makan waktu.

–Noreen Wyper

Cara Mengatasi Kenakalan Remaja..

1. Luangkan waktu bersama anak-anak Anda.
2. Berikan teladan yang baik kepada mereka.
3. Berikan cita-cita pada anak-anak Anda.
4. Rencanakan banyak kegiatan untuk mereka.
5. Disiplinkan anak-anak Anda.
6. Ajari mereka tentang Allah.

–Billy Graham

“… Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu.” (1 Timotius 4:12).

“Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu.” (Amsal 22:6).

Leave a comment