Monthly Archives: November 2011

Kerja adalah Sebuah Kehormatan

Standard

Suatu hari, ada seorang bapak yang sedang menikmati makan siang. Lalu datanglah seorang anak kecil yang menjajakan kue kepadanya “Permisi pak. Apa bapak mau membeli kue saya?” Dengan ramah bapak yang sedang makan tersebut menjawab, “Tidak, adik, saya sedang makan.” Mendengar jawaban itu, anak kecil tersebut tidak putus asa dengan tawaran pertama yang ia ajukan. Ia kembali menawarkan kembali kue tersebut setelah bapak itu selesai makan. Dan, bapak tersebut menjawab: “Tidak adik, saya sudah kenyang.”

Setelah bapak itu membayar ke kasir dan beranjak pergi dari tempat makan siangnya, anak kecil penjaja kue itu masih tidak menyerah dengan usahanya yang sudah hampir seharian menjajakan kue buatan ibunya. Anak kecil ini berpikir, “Saya mau mencoba lagi menawarkan kue ini kepada bapak itu, siapa tahu kue ini mau dijadikan oleh-oleh buat orang yang berada di rumah.”

“Pak, mau membeli kue saya?” Bapak yang berkali-kali ditawari akhirnya merasa risih juga untuk menolak yang ketiga kalinya, dan kemudian ia mengeluarkan uang Rp 2000,- serta ia berikan sebagai sedekah, tanpa mau menerima kuenya. Lalu uang yang diberikan bapak itu diambilnya, dan diberikan kepada bapak pengemis yang sedang meminta-minta di dekatnya. Bapak ini menjadi bingung, kenapa anak ini dikasih uang kok malah diberikan kepada orang lain.

“Kenapa kamu memberikan uang tersebut kepada bapak pengemis tadi? Kenapa tidak kamu ambil saja dan kamu gunakan untuk keperluanmu?” Anak kecil tersebut menjawab, “Saya sudah berjanji kepada ibu yang berada di rumah. Saya ingin menjual kue buatan ibu, bukan menjadi pengemis. Dan, saya akan bangga pulang ke rumah bertemu ibu kalau kue buatan ibu sudah terjual habis.” Kemudian pemuda tadi memborong semua kue yang dijajakan anak kecil tersebut, bukan karena ia kasihan, bukan karena ia lapar, tetapi karena prinsip yang dimiliki oleh anak kecil itu “Kerja adalah sebuah kehormatan”, ia akan mendapatkan uang apabila ia sudah bekerja dengan baik.

Makna yang bisa diambil: Kerja bukanlah permasalahan uang semata, namun lebih mendalam mempunyai “makna sesuatu” bagi kehidupan kita. Sekecil apapun yang kita kerjakan, sejauh itu memberikan rasa bangga di dalam diri, maka itu akan memberikan arti besar bagi kita dan lingkungan di sekitar. Bukan permasalahan tinggi, rendah, atau besar kecilnya suatu profesi, namun yang lebih penting adalah etos kerja, dalam arti kita menghargai apa yang kita kerjakan. Tuhan memberkati.

–Disadur dari sumber email

[ Pernah dimuat di dalam Buletin Phos edisi November 2011]

Satu Pemenang dari 300 juta Pesaing

Standard

Sebuah artikel menyebutkan bahwa ada sekitar 300 juta sel sperma sekali keluar, dan ini adalah jumlah yang luar biasa banyaknya. Tetapi untuk membuahi, hanya diperlukan satu sel sperma untuk bertemu dengan sel telur. Bayangkan betapa ketatnya kompetisi yang terjadi: 300 juta yang bersaing, hanya ada satu yang dapat membuahi sel telur. Dan hasilnya adalah Anda dan saya. Selain itu, jika dibanding antara sel sperma yang sangat kecil, untuk dapat mencapai sel telur yang hanya berjarak sekitar 10 cm ke dalam tentu sudah merupakan jarak tempuh yang sangat jauh.

Jika dibuat perbandingan dengan ukuran tubuh manusia secara rata-rata, ternyata sel sperma harus menempuh jarak setara dengan 150 km jarak yang ditempuh manusia untuk dapat meraih sel telur. Belum lagi dalam menempuh jarak sejauh itu, ratusan juta sel sperma ini harus melewati tingkat keasaman tertentu untuk dapat mencapai sel telur dengan selamat. Sebagian besar yang tidak tahan akan mati dalam perjalanan. Perjuangan yang luar biasa, namun hanya satu sel sperma pemenang yang akhirnya berhasil mencapai sel telur, membuahinya, dan lahirlah Anda dan saya. Satu sel juara itulah yang akhirnya menjadi diri kita.

Sering kali kita “mundur”, ketika menghadapi persaingan berat. Kita kerap merasa kalah sebelum bertanding, karena mental kita tidak cukup tegar dan berani untuk berjuang. Tetapi, sadarkah bahwa Anda pun sesungguhnya terlahir sebagai pemenang? Anda adalah pemenang bukan dari 10 atau 100 pesaing, tetapi dari kemenangan menghadapi 300 juta pesaing. Fakta ini membuktikan bahwa Anda dan saya adalah yang terbaik dari antara 300 juta pesaing itu. Jika ada orang yang berpikir bahwa ia terlahir sebagai pecundang, itu artinya ia tidak memahami apa-apa tentang proses terbentuknya dirinya dalam kandungan ibunya.

Ia tidak menyadari bahwa sesungguhnya ia terlahir bukan sebagai pecundang, tetapi merupakan hasil kemenangan dari persaingan yang luar biasa ketatnya. Anda dan saya lahir hari ini, di muka bumi, sebagai hasil dari sebuah kemenangan yang begitu luar biasa dahsyat dan ajaib. Pernahkah Anda membayangkan bagaimana rasanya bersaing dengan ratusan juta kompetitor sekaligus? Rata-rata orang tidak akan sanggup, walau pun hanya dengan membayangkan saja. Tetapi fakta mengatakan bahwa sebelum kita tahu apa-apa mengenai persaingan, kita ternyata sudah terlahir sebagai pemenang.

Pemazmur memahami dan mengerti betul ketika menyadari eksistensi atau keberadaan dirinya dan manusia-manusia lainnya di muka bumi ini. “Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib apa yang Kaubuat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya.” (Mazmur 139:4). Ini adalah sebuah ucapan yang saya yakin lahir dari sebuah perenungan yang mendalam.

Fakta yang tidak bisa dibantah bahwa kita lahir sebagai yang terbaik dari 300 juta pesaing. Jika demikian mengapa kita harus lemah, putus asa, dan cepat menyerah saat berhadapan dengan tantangan atau kompetisi yang ketat dalam hidup ini, padahal kita memiliki benih pemenang? Ratusan juta sudah kita kalahkan, bahkan sebelum kita menyadari apa-apa. Seperti itulah hakikatnya kita diciptakan Tuhan, “TUHAN akan mengangkat engkau menjadi kepala dan bukan menjadi ekor, engkau akan tetap naik dan bukan turun..” (Ulangan 28:13). Ini adalah bukti nyata bahwa kita terlahir tidak sebagai pecundang melainkan sebagai pemenang, yang berasal dari benih pemenang pula.

Beranikah Anda bermimpi untuk menang menghadapi ratusan, ribuan bahkan jutaan pesaing? Jika tadinya tidak, sekarang dengan menyadari proses terbentuknya kita dari benih pemenang ini, seharusnya Anda bisa yakin, minimal lebih dari sebelumnya. Tuhan sudah menciptakan Anda sebagai juara sejak awal, Tuhan telah menciptakan Anda dengan potensi yang luar biasa, untuk dapat terus menang dalam berbagai tantangan atau persaingan yang ketat.

Firman Tuhan berkata “Tetapi dalam semuanya itu kita lebih dari pada orang-orang yang menang, oleh Dia yang telah mengasihi kita.” (Roma 8:37). Seperti itulah direncanakan Tuhan, dan Dia sudah memberikan semua kelengkapan yang dibutuhkan agar sanggup mencapainya. Kita terlahir untuk menuai keberhasilan demi keberhasilan, malah untuk lebih dari sekadar pemenang. Itu janji Tuhan yang bisa kita peroleh apabila kita taat kepada-Nya, mau merenungkan firman-Nya, dan melakukan tepat seperti apa yang Dia kehendaki.

Jangan biarkan pikiran-pikiran negatif, “mental yang lemah”, dosa, kemalasan, atau hal-hal apapun merintangi apa yang sudah direncanakan Tuhan bagi kita semua sejak semula. Berdirilah tegak, yakinlah dengan segala kemampuan yang sudah diberikan Tuhan kepada Anda, keluarlah dan jadilah pemenang. Kita sekarang ada di dunia ini sebagai buah dari kemenangan yang dahsyat dan ajaib. Tuhan Yesus memberkati.

–Disadur dari Email

[ Pernah dimuat di dalam Buletin Phos edisi November 2011 ]

Misi Antonia

Standard

Kerusuhan bergejolak di penjara La Mesa di Tijuana, Meksiko. Dua ribu lima ratus narapidana yang ditempatkan berdesakan dalam sebuah kompleks yang hanya dapat menampung enam ratus orang, de­ngan penuh emosi melemparkan pecahan botol kepada polisi, yang membalas dengan menembakkan senapan mesin. Di saat kerusuhan memuncak, muncul sosok seorang wanita mungil setinggi 1,56 meter berusia 63 tahun dengan berpakaian rapi seperti kebiasaan para biarawati.

Dengan tenang ia berjalan ke tengah arena kerusuhan, sambil kedua tangannya dibentangkan membentuk tanda perdamaian. Dengan mengabaikan hujan peluru dan botol yang berterbangan, wanita itu berdiri dengan tenang dan menyuruh semua orang berhenti. “Tidak ada orang lain di dunia ini kecuali Suster Antonia yang mampu melakukannya,” ujar Robert Cass, mantan napi, yang saat ini sudah direhabilitasi. “Dia telah mengubah kehidupan ribuan orang.”

Selama seperempat abad terakhir, atas keinginannya sendiri, dia memilih untuk tinggal dalam sebuah sel beton berukuran tiga meter di La Mesa, tanpa air hangat, dikelilingi oleh para pembunuh, pencuri, dan gembong narkoba. Dan, dengan penuh kasih bagi sesamanya mencarikan antibiotik, membagikan kacamata, menasihati napi yang ingin bunuh diri, memandikan mayat untuk dimakamkan. “Aku tinggal di tempat ini,” dia menjelaskan tanpa menunjukkan sedikit pun keluhan, “Untuk berjaga-jaga seandainya ada yang ditikam di tengah malam.”

Tempat itu sangat berbeda dengan lingkungan mewah Beverly Hills tempat Suster Antonia—saat itu bernama Mary Clarke—dibesarkan. Ayahnya, yang berasal dari keluarga sederhana, memiliki perusahaan alat-alat keperluan kantor yang maju pesat. Clarke tumbuh dewasa pada masa kejayaan Hollywood. Sebagai gadis remaja cantik yang penuh semangat, dia sering menghabiskan malam akhir pekannya untuk berdansa dengan para prajurit muda di kantin dan bermimpi tentang masa depannya.

Semuanya terwujud. Setelah lulus SMA, Clarke menikah dan membesarkan tujuh anak di sebuah rumah di Granada Hills yang berudara segar. Dua puluh lima tahun kemudian, pernikahannya berakhir dengan perceraian, masalah yang masih menyisakan rasa sakit bagi dirinya dan hal yang dihindarinya untuk dibahas. “Hanya karena sebuah mimpi telah berakhir, bukan berarti mimpi itu tidak pernah terwujud,” katanya. “Yang penting sekarang adalah kehidupanku yang kedua.”

Pada tahun 1977, karena merasa yakin telah menemukan panggilan hidupnya yang ditentukan oleh Tuhan, Mary Clarke menjadi Suster Antonia. Penjara La Mesa menjadi tempat tinggalnya yang permanen, tempat yang dipilihnya bahkan di saat malam Natal. “Anak-anak kandungnya memahami prioritas hidupnya,” kata temannya, Noreen Walsh-Begun. “Mereka sadar bahwa ibunya dulu telah mengurus mere­ka, dan sekarang tiba gilirannya untuk mengurus orang lain.”

Suster Antonia berkata bahwa cintalah yang ditawarkannya kepada setiap orang. “Aku membenci tindak kejahatan, tapi tidak membenci pelakunya,” katanya. “Pagi ini aku bicara dengan seorang pemuda berusia sembilan belas tahun yang mencuri mobil. Kutanya apakah dia sadar apa arti sebuah mobil bagi sebuah keluarga, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membelinya. Aku berkata, ‘Aku sayang kamu, tapi aku tidak bersimpati padamu. Kamu punya pacar? Mungkin saja ada orang yang mencurinya ketika kamu berada di sini.’ Lalu, kupeluk dia.”

Sebagai seorang pembicara yang karismatis, Antonia berhasil menarik hati banyak orang untuk menyumbangkan berbagai barang, mulai dari tempat tidur, obat-obatan, sampai uang. Seorang dokter gigi setempat menyediakan ribuan gigi palsu murah bagi para napi yang belum pernah sekali pun melihat sikat gigi. “Kalian harus bisa tersenyum agar bisa mendapatkan pekerjaan,” gurau Suster Antonia. Dia berkata bahwa dirinya adalah orang yang paling beruntung di muka bumi.

Pesan dari Suster Antonia adalah bahwa kita tidak perlu meninggalkan kampung halaman atau gaya hidup kita untuk berkontribusi. Justru sebaliknya, setiap orang—berapa pun usia dan statusnya—akan sering berhadapan dengan sejumlah titik ketika dia harus memilih apakah akan melangkah maju dan melakukan sesuatu yang berguna atau hanya duduk saja dan berpangku tangan. Suster Antonia memilih untuk melibatkan dirinya dalam kehidupan yang bermakna, ikut ambil bagian “untuk membuat keadaan menjadi lebih baik.”

–Gail Cameron Wescott

[ Pernah dimuat dalam Buletin Phos edisi November 2011 ]

Pay It Forward

Standard

Saat terlintas keraguan di dalam hati perihal apakah mungkin ada perbuatan baik kecil dan sederhana yang kita lakukan kepada orang lain akan mampu mempengaruhi kehidupan mereka, mungkin film “Pay It Forward” dapat menjadi pendorong bagi kita untuk memberikan semangat dan selalu tidak jemu-jemu dalam berbuat kebaikan kepada orang lain.

Kisahnya bercerita tentang seorang anak berumur delapan tahun bernama Trevor yang berpikir jika dia melakukan kebaikan kepada tiga orang di sekitarnya, lalu jika ketiga orang tersebut meneruskan kebaikan yang mereka terima itu dengan melakukan kepada tiga orang lainnya dan begitu seterusnya, maka dia yakin bahwa suatu saat nanti dunia ini akan dipenuhi dengan orang-orang yang saling mengasihi. Dia menamakan ide tersebut: “Pay It Forward

Singkat cerita, Trevor memutuskan bahwa tiga orang yang akan menjadi bahan eksperimen adalah mamanya sendiri (yang menjadi single parent), seorang pemuda gembel yang selalu dilihatnya di pinggir jalan dan seorang teman sekelas yang selalu diganggu oleh sekelompok anak-anak nakal.

Percobaan pun dimulai..

Trevor melihat bahwa mamanya sangat kesepian, tidak memiliki teman untuk berbagi rasa, telah menjadi seorang pecandu minuman keras. Trevor berusaha menghentikan kecanduan mamanya dengan cara rajin mengosongkan isi botol minuman keras yang ada di rumah mereka, dia juga mengatur rencana supaya mamanya dapat berkencan dengan guru sekolah Trevor. Sang mama yang melihat perhatian si anak yang begitu besar menjadi terharu, saat sang mama mengucapkan terima kasih, Trevor berpesan kepada mamanya: “Pay It Forward, Mom..

Sang mama yang terkesan dengan apa yang dilakukan Trevor, terdorong untuk meneruskan kebaikan yang telah diterimanya itu dengan pergi ke rumah ibunya (nenek si Trevor). Hubungan mereka telah rusak selama bertahun-tahun dan mereka tidak pernah bertegur sapa. Kehadiran sang putri untuk meminta maaf dan memperbaiki hubungan di antara mereka membuat nenek Trevor begitu terharu, saat nenek Trevor mengucapkan terima kasih, si anak berpesan: “Pay It Forward, Mom..

Sang nenek yang begitu bahagia karena putrinya mau memaafkan dan menerima dirinya kembali, meneruskan kebaikan tersebut dengan menolong seorang pemuda yang sedang ketakutan karena dikejar segerombolan orang untuk bersembunyi di mobil si nenek, ketika para pengejarnya sudah pergi, si pemuda mengucapkan terima kasih, si nenek berpesan: “Pay It Forward, Son..

Si pemuda yang terkesan dengan kebaikan si nenek, terdorong meneruskan kebaikan tersebut dengan memberikan nomor antriannya di rumah sakit kepada seorang gadis kecil yang sakit parah untuk lebih dulu mendapatkan perawatan, ayah si gadis kecil begitu berterima kasih kepada si pemuda ini, si pemuda berpesan kepada ayah si gadis kecil: “Pay It Forward, Sir..

Ayah si gadis kecil yang terkesan dengan kebaikan si pemuda, terdorong meneruskan kebaikan tersebut dengan memberikan mobilnya kepada seorang wartawan TV yang mobilnya terkena kecelakaan pada saat sedang meliput suatu acara, saat si wartawan berterima kasih, ayah si gadis berpesan: “Pay It Forward..

Sang wartawan yang begitu terkesan terhadap kebaikan ayah si gadis, bertekad untuk mencari tau dari mana asal muasalnya istilah kata “Pay It Forward” tersebut, jiwa kewartawanannya mengajak dia untuk menelusuri mundur mencari informasi mulai dari ayah si gadis, pemuda yang memberi antrian nomor rumah sakit, nenek yang memberikan tempat persembunyian, putri si nenek yang mengampuni, sampai kepada si Trevor yang mempunyai ide tersebut.

Terkesan dengan apa yang dilakukan oleh Trevor, si wartawan mengatur agar Trevor bisa tampil di Televisi supaya banyak orang yang tergugah dengan apa yang telah dilakukan oleh anak kecil ini. Saat kesempatan untuk tampil di Televisi terlaksana, Trevor mengajak semua pemirsa yang sedang melihat acara tersebut untuk bersedia memulai dari diri mereka sendiri untuk melakukan kebaikan kepada orang-orang yang berada di sekitar mereka agar dunia ini penuh dengan kasih dan kebaikan.

Namun usia Trevor sangatlah singkat. Dia ditusuk pisau saat akan menolong teman sekolahnya yang selalu diganggu oleh para berandalan. Selesai penguburan Trevor, betapa terkejutnya sang Mama melihat ribuan orang tidak henti-hentinya datang dan berkumpul di halaman rumahnya sambil meletakkan bunga dan menyalakan lilin tanda ikut berduka cita terhadap kematian Trevor. Trevor sendiri pun sampai akhir hayatnya tidak pernah menyadari dampak yang diberikan kepada banyak orang hanya dengan melakukan kebaikan penuh kasih kepada orang lain.

Mungkin saat ini kita sedang terkagum-kagum menikmati kebaikan Tuhan di dalam hidup kita dan bertanya-tanya kepada Tuhan bagaimana cara untuk mengungkapkan rasa terima kasih kepada-Nya. Jawaban Tuhan hanya sesederhana ini: “Pay It Forward to others around you (Teruskanlah kebaikan itu kepada orang lain yang berada disekitarmu)”

–Dari berbagai sumber..

Nasihat dari Ayah Pengantin Pria

Standard

Kata-kata punya pengaruh yang menakjubkan. Kesan yang ditimbulkan oleh suara seorang ayah bisa menggerakkan seluruh kehidupan -Gordon MacDonald

Tugasku adalah tugas yang paling tak ada gunanya di dunia. Ayah pengantin pria. Putra kami, Stephen, akan menikah akhir pekan ini dan, sebagai ayah pengantin pria, aku diharapkan untuk tidak berbuat apa-apa. Ya, aku harus hadir. Tapi, hanya itu. Aku tak punya tugas apa-apa. Aku tidak harus menyewa kuartet pemain musik string, atau memesan bunga, atau memilih anggur yang enak tapi murah, atau berjalan menuju altar. Aku bisa duduk terkantuk-kantuk dan orang takkan peduli. Atau memperhatikan. Hmm, peran pasif seperti itu tak cocok untukku; aku ingin berperan aktif. Karena itu, sebagai kontribusiku pada peresmian pernikahan itu, aku menawarkan kepada Stephen dan pengantinnya, Rhea, nasihat perkawinan ini.

• Jangan lupa sarapan yang bergizi. Perkawinan yang baik menuntut banyak energi. Jangan mengawali hari dengan perut kosong.
• Selalu dahulukan kepentingan pasanganmu.
• Jangan tinggalkan rumah tanpa mencium dia. Itu menyenangkan. Kalau kau bisa menambahkan tepukan sayang di pipi atau di bahu, itu lebih baik.
• Bersenang-senanglah. Jika kau tak dapat membuat pasanganmu tertawa, pasti ada yang tidak beres.
• Sejak awal, sadarilah bahwa ada hal-hal yang tak mungkin kau sepakati–suhu kamar yang tepat, mobil yang akan dibeli, makanan, atau acara tivi. Itu normal. Jangan panik.

• Jangan mencoba memenangkan setiap pertengkaran. Ambil sikap kompromi dengan penuh harga diri. Dan jangan bersenang di balik kekalahan pasanganmu.
• Hiduplah sesuai dengan penghasilan kalian. Manajemen keuangan jauh lebih penting daripada yang kalian kira. Jangan takut hidup miskin. Bukan benda-benda duniawi yang bisa membuat kalian rukun. Kelak, jika kalian mengenang masa lalu, bukan benda-benda itu yang akan kalian ingat.
• Kejutan. Kalian butuh banyak kejutan. Kemarin pagi kutemukan sebuah puisi di bawah piring sarapanku. Sekarang kalian tahu mengapa aku bersyukur punya teman hidup yang terbaik di galaksi ini.

• Jangan mengomel, mengeluh, atau meninggalkan sesuatu di kantong pakaian yang akan dimasukkan ke mesin cuci.
• Jangan simpan senyum terbaikmu untuk orang yang tak kaukenal, orang-orang di kantor atau klien-klienmu. Tentukan prioritasmu.
• Usahakan untuk bisa mengobrol dengan santai. Menurutku ini penting.

• Sediakan ranjang yang besar dan nyaman, tempat kalian bisa memulai atau mengakhiri hari dengan berpelukan. Jika kau terlalu sibuk untuk berpelukan di tempat tidur, mungkin kau menderita sindrom parah penyakit “merasa diri penting”–sesuatu yang bisa berakibat fatal dalam perkawinan.
• Kalian harus tetap saling menghargai, walaupun sudah merayakan perkawinan emas.
• Selalu jujur.

• Jangan menganggap saat-saat romantis sudah lewat setelah kalian menikah. Saat itu justru baru mulai, kalau kalian bisa menikmatinya dengan benar.
• Nikmati makan malam bersama sambil mengobrolkan berbagai kejadian hari itu. Jangan menyetel televisi. Jangan membaca koran. Jangan hanya mengeluh. Itulah saatnya untuk bersantai dan melupakan beban kerja.
• Sesekali hidangkan makanan istimewa. Masakan yang istimewa membuat orang senang.
• Sedikit kemewahan takkan merusak perkawinan.

• Usahakan untuk punya anak. Dan jika sudah punya anak, rawatlah mereka, cintailah mereka, nikmatilah keberadaan mereka, sisihkan waktu untuk bersama mereka, katakan tidak kepada mereka, bermainlah dengan mereka, peluklah mereka. Anak adalah sumbangan paling penting yang bisa kalian berikan kepada dunia. Karena itu, jangan perlakukan mereka seperti sekadar hobi, jangan berikan mereka kepada orang lain untuk diasuh.

• Bangunlah beranda segera setelah kalian mampu. Sediakan dua kursi yang nyaman. Duduklah santai di beranda pada malam-malam musim panas dan nikmatilah pemandangan matahari terbenam. Kalian tidak harus bepergian ke mana-mana untuk bisa menikmati hidup.
• Pastikan dirimu ada di samping pasanganmu di saat-saat yang menyenangkan, juga di saat-saat sulit.
• Dengarkan, dengarkan, dengarkan. Kau akan heran mengetahui apa yang kaupelajari.

• Jangan pernah menerapkan standar ganda.
• Pagi-pagi sekali, ketika kau masih setengah bangun, ulurkan tanganmu dan sentuhlah pasanganmu untuk memastikan bahwa dia tidur di sampingmu, dan bahwa semua beres. Kelembutan tetap sah menurut hukum.
• Dan akhirnya: Undanglah ayah pengantin pria untuk makan malam di rumahmu jika kau masak meatloaf atau Swiss steak. Dia berjanji tidak akan memberi nasihat lagi kepada kalian.

–Gary Lautens

“Hai anakku, dengarkanlah didikan ayahmu, dan jangan menyia-nyiakan ajaran ibumu sebab karangan bunga yang indah itu bagi kepalamu, dan suatu kalung bagi lehermu.” (Amsal 1:8-9).

The Great Man who Builds Great Lives

Standard

Saya sering bermain quiz dengan anak-anak saya. Kami secara bergantian melempar pertanyaan dan bagi yang dapat menjawabnya akan mendapatkan nilai. Pihak yang mengumpulkan nilai terbanyak adalah pemenangnya. Suatu kali saya melemparkan pertanyaan ini kepada Nathan. “Who is the greatest man on planet?” dengan cepat Nathan menjawab, “Daddy…!”

Ayah, Anda adalah pribadi yang paling hebat di mata anak-anak. Anda bahkan lebih hebat daripada superhero favorit mereka. Anda adalah pribadi yang luar biasa, karena Tuhan telah menunjuk Anda untuk membangun kehidupan anak-anak, generasi mendatang. Melalui Anda, mereka akan menjadi manusia-manusia yang hebat. Apa yang membuat Anda menjadi pria yang paling hebat dalam kehidupan anak-anak Anda? Pertimbangkan hal-hal di bawah ini sebagai jawabannya:

• Pertolongan-pertolongan kecil yang Anda berikan pada saat mereka membutuhkannya, hal yang paling sederhana mungkin adalah mengganti battery mainan mereka.
• Pujian-pujian kecil yang Anda berikan pada saat mereka melakukan sesuatu yang baik.
Words of comfort pada saat mereka takut atau kecewa.
• Hadiah-hadiah kecil yang akan mereka hargai.
• Waktu-waktu yang Anda berikan untuk menemani mereka bermain atau menyelesaikan pekerjaan rumah.
• Perhatian terhadap hal-hal yang menjadi kesukaan mereka.
• Mendengarkan cerita mereka.
• Berdoa bersama mereka, sehingga pada saat mereka melihat permohonan mereka kepada Tuhan dijawab, you can share the joy and the victory with them.
Be there! Karena mereka tidak akan pernah mendapat pertolongan dari superhero yang hanya ada dalam cerita atau khayalan mereka. Tetapi Anda adalah pahlawan yang dapat setiap saat membebaskan mereka dari kesulitan. You are their real hero!

Hal-hal di atas adalah hal-hal kecil yang harus Anda lakukan secara konsisten setiap saat. Kelihatannya tidak significant, tidak membutuhkan tindakan heroic yang menunjukkan betapa kuat, gagah dan perkasanya Anda sebagai seorang laki-laki. Tetapi seperti halnya jutaan batu bata yang kecil yang membangun Tembok China yang spektakuler, tindakan-tindakan kecil itulah yang akan membangun image seorang ayah yang luar biasa di mata anak-anak Anda.

Tembok China tidak dibangun dalam satu malam. Saya yakin orang-orang yang bekerja siang-malam menyusun dan melekatkan batu-batu bata tidak dapat membayangkan betapa hebatnya bangunan yang sedang mereka kerjakan. Demikian pula dengan kehidupan. Hal-hal kecil yang Anda lakukan bagi anak-anak mungkin terlihat tidak berarti. Tetapi itulah yang akan membangun kehidupan mereka. Sehingga suatu hari kelak Anda pasti akan takjub dan bangga melihat hasilnya.

Digest:

Kita sedang membangun kehidupan anak-anak dengan hal-hal kecil dan sederhana yang kita lakukan bagi mereka. We don’t need rocket science to do that, but determination, patience and wisdom.

“Great things are not done by impulse, but by a series of small things brought together.” (Vincent van Gogh)

“The great doing of little things makes the great life.” (Eugenia Price)

“A soldier destroys in order to build; the father only builds, never destroys. The one has the potentiality of death; the other embodies creation and life.” (Douglas MacArthur)

–Hanna Carol

Kisah Seorang Ibu yang Kehilangan Putrinya

Standard

Orang tua yang memiliki kekayaan/kemewahan yang luar biasa adalah harapan banyak anak-anak, tetapi apakah kita mengetahui bahwa jauh di lubuk hati mereka tersimpan suatu harapan yang lebih besar daripada sebuah kekayaan dan kemewahan? Dicintai, disayangi dan mendapat perhatian dari kedua orang tua mereka, itulah harapan terbesar anak-anak. Keberhasilan mereka sangat ditentukan dari seberapa besar cinta dan perhatian yang telah diberikan orang tua kepada mereka.

Cinta dan perhatian bukan berbicara mengenai banyaknya fasilitas yang diberikan kepada anak seperti: Mobil, kartu kredit, dll. Cinta dan perhatian yang tuluslah yang menyebabkan seorang anak miskin bisa bertahan dan terus berjuang menghadapi hidup hingga mereka menjadi seorang yang berhasil. Karier orang tua yang luar biasa tidaklah salah, akan tetapi ketika orang tua sudah tidak memiliki lagi waktu untuk anak-anak mereka, waspadalah dan sebaiknya kita belajar dari pengalaman orang lain sebelum kita terlambat dan menyesal.

Berikut adalah kesaksian (kisah nyata) dari seorang Ibu yang baru saja kehilangan anak perempuannya. Semoga setiap dari kita dapat memetik hikmah dibalik kisah ini..

Saya seorang Ibu dengan dua orang anak, dan saya adalah mantan dari direktur sebuah Perusahaan Multinasional. Mungkin Anda termasuk orang yang menganggap bahwa saya adalah orang yang sangat berhasil di dalam karier, namun sungguh jika seandainya saya boleh memilih maka saya akan berkata kalau lebih baik saya tidak mengalami seperti sekarang dan menganggap semua yang telah saya raih adalah hal sia-sia belaka.

Semuanya berawal ketika putri saya satu-satunya yang berusia 19 tahun baru saja meninggal karena overdosis narkotika. Sungguh hidup saya hancur berantakan karenanya, suami saya saat ini masih terbaring di rumah sakit karena terkena stroke dan mengalami kelumpuhan karena memikirkan musibah ini. Putra saya satu-satunya juga sempat mengalami depresi berat dan sekarang masih dalam perawatan intensif di sebuah klinik kejiwaan. Dia juga merasa sangat terpukul dengan kepergian adiknya. Sungguh apa lagi yang dapat saya harapkan. Kepergian Maya (nama putri kami) dikarenakan mengalami keadaan jiwa yang tergoncang akibat kepergian Bik Inah pembantu kami, sehingga dia terjerumus dalam pemakaian Narkoba.

Mungkin terdengar aneh mengapa kepergian seorang pembantu rumah tangga dapat membawa dampak yang sebegitu hebat atas putri kami. Harus saya akui bahwa bik Inah sudah seperti keluarga bagi kami, dia telah ikut bersama kami sejak 20 tahun yang lalu dan ketika Doni (nama putra kami) berumur 2 tahun. Bahkan bagi Maya dan Doni, bik Inah sudah seperti ibu kandungnya sendiri. Hal ini saya ketahui dari buku harian Maya yang saya baca setelah dia meninggal. Maya begitu cemas dengan sakit yang dialami oleh bik Inah, berlembar-lembar buku hariannya berisi curahan isi hatinya perihal masalah ini. Dan ketika saya sakit karena kelelahan dan harus diopname di rumah sakit selama 3 minggu, Maya hanya menulis singkat sebuah kalimat di buku hariannya “Hari ini Mama sakit di Rumah sakit”, hanya itu saja. Sungguh hal ini membuat saya semakin terpukul.

Tetapi saya akui, semua ini terjadi karena kesalahan saya. Begitu sedikit waktu yang saya miliki untuk Doni, Maya dan suami saya. Waktu saya seharian habis di kantor, otak saya lebih banyak berpikir tentang keadaan di perusahaan daripada tentang keadaan mereka. Berangkat pukul 07:00 pagi dan pulang di rumah 12 jam kemudian, bahkan mungkin lebih. Ketika sudah sampai rumah rasanya sudah begitu capek untuk memikirkan urusan mereka. Memang setiap hari libur kami pergunakan untuk acara keluarga, namun sepertinya itu hanya seremonial dan sekadar acara rutinitas saja. Ketika hari Senin tiba, saya dan suami sudah seperti “robot” yang terprogram untuk urusan pekerjaan di kantor.

Sebenarnya Ibu saya sudah berkali-kali mengingatkan saya untuk berhenti bekerja sejak Doni masuk SMA, namun selalu saya tolak. Saya menganggap bahwa ibu saya memiliki cara berpikir yang terlalu kuno. Memang Ibu saya dulu memutuskan untuk berhenti bekerja dan memilih membesarkan kami 6 orang anaknya. Padahal sebagai seorang sarjana ekonomi, karier ibu waktu itu katanya sangat baik. Ayah pun saat itu juga memiliki pekerjaan yang biasa-biasa saja dari segi karier dan dari sisi penghasilan.

Meskipun jujur saya pernah berpikir untuk memutuskan berhenti bekerja dan mau mengurus Doni dan Maya, namun selalu saja perasaan bagaimana kebutuhan hidup bisa terpenuhi kalau berhenti bekerja, lalu apa gunanya saya sudah bersekolah sampai ke jenjang tinggi? Meski sebenarnya suami saya juga seorang yang cukup mapan dalam kariernya dan penghasilan. Dan, setelah saya mendapatkan nasihat dari Ibu, saya menjadi lebih perhatian kepada Doni dan Maya, namun tidak lebih dari dua minggu semuanya kembali seperti normal. Kembali sibuk mengurusi urusan kantor dan berfokus kepada karier saya. Saya merasa masih bisa membagi waktu untuk mereka, toh teman yang lain di kantor juga bisa dan ungkapan “kualitas pertemuan dengan anak lebih penting dari kuantitas” selalu menjadi patokan dalam hidup saya.

Sampai akhirnya semua terjadi di luar kendali dan berjalan begitu cepat sebelum saya sempat tersadar. Maya berubah dari anak yang begitu manis menjadi pemakai narkoba. Dan saya tidak mengetahuinya! Sebuah sindiran dan protes Maya saat itu selalu terngiang di telinga. Waktu itu bik Inah pernah memohon untuk berhenti bekerja dan memutuskan kembali ke desa untuk membesarkan Bagas, putra satu-satunya, setelah dia ditinggal mati suaminya. Namun karena Maya dan Doni keberatan maka akhirnya kami putuskan agar Bagas dibawa tinggal bersama kami. Pengorbanan bik Inah buat Bagas ini sangat dibanggakan Maya. Namun sindiran Maya tidak begitu saya perhatikan. Sampai akhirnya semua terjadi, setelah tiba-tiba jatuh sakit kurang lebih dua minggu, bik Inah meninggal dunia di Rumah Sakit.

Dari buku harian Maya saya juga baru tahu kenapa Doni malah pergi dari rumah ketika bik Inah di Rumah Sakit. Doni pernah memohon kepada ayahnya agar bik Inah dibawa ke Singapura untuk berobat setelah dokter di sini mengatakan bahwa bik Inah sudah masuk stadium 4 kankernya. Dan usul Doni kami tolak sehingga dia begitu marah pada kami. Dari sini saya tahu betapa berartinya seorang bik Inah di hati mereka, sudah seperti ibu kandungnya, yang telah menggantikan tempat saya.

Dan sebuah foto “keluarga” di dinding kamar Maya sering saya amati kalau lagi kangen dengannya. Beberapa bulan yang lalu kami sekeluarga pergi ke desa bik Inah. Atas desakan Maya, kami sekeluarga menghadiri acara pengangkatan Bagas sebagai kepala Sekolah Madrasah setelah dia selesai kuliah dan belajar di Pondok Pesantren. Dan Doni pun begitu bersemangat untuk hadir di acara itu, padahal dia adalah orang yang paling susah untuk diajak ke acara serupa di kantor saya atau ayahnya.

Di foto “keluarga” itu tampak terlihat bik Inah, Bagas, Doni dan Maya tersenyum bersama. Tak pernah kami lihat Maya begitu gembira hatinya seperti saat itu dan seingat saya itu adalah foto terakhirnya. Setelah bik Inah meninggal, Maya begitu terguncang dan syok. Kami sempat merisaukannya dan membawanya ke psikolog ternama di Jakarta. Namun sebatas itu yang kami lakukan setelah itu saya kembali berkutat dengan urusan kantor. Dan di halaman buku harian Maya tertulis rasa penyesalan dan air mata tercurah. Maya menulis:

“Ya Tuhan kenapa bik Inah meninggalkan Maya? Terus siapa nantinya yang akan membangunkan Maya? Siapa yang menyiapkan sarapan Maya di pagi hari? Siapa yang akan menyambut Maya ketika pulang dari sekolah? Siapa yang mengingatkan Maya untuk berdoa? Kepada siapa Maya akan berbagi cerita kalau sedang memiliki permasalahan di sekolah? Siapa yang akan menemani Maya kalau sedang tidak bisa tidur? Ya Tuhan, Maya kangen banget sama bik Inah.”

Bukankah itu seharusnya menjadi tugas dan bagian saya sebagai ibunya, bukannya bik Inah? Sungguh hancur hati saya membaca itu semua. Namun semua sudah terlambat tidak mungkin dapat kembali. Seandainya waktu dapat diputar kembali ke belakang, saya rela akan mengorbankan apa saja untuk meraih kebahagiaan keluarga saya. Kadang saya juga merenung, kisah yang saya alami ini seperti cerita sinetron di TV dan saya adalah pemeran utamanya. Namun saya tersadar ini adalah realita dan kenyataan yang sungguh-sungguh terjadi di dalam hidup saya.

Sungguh saya menulis ini bukan berniat untuk menggurui siapapun tetapi sekadar menjadi pengurang rasa sesal saya, semoga ada yang dapat mengambil pelajaran darinya. Biarkan saya saja yang merasakan musibah ini, karena sungguh tiada terbayang beratnya. Semoga siapapun yang membaca tulisan ini dapat menentukan “prioritas hidup dan tidak salah dalam memilihnya”. Saat ini saya juga sedang mengikuti program konseling/therapy untuk menentramkan hati saya dan berkat dorongan seorang teman saya memberanikan untuk menulis kisah ini kepada Anda.

Saya tidak ingin menjadikan tulisan ini sebagai penebus kesalahan saya, karena hal itu tidak mungkin terjadi. Dan bukan pula untuk memaksa Anda memercayainya, tapi inilah faktanya. Semoga Anda dapat memetik hikmah dan manfaat dari permasalahan yang saya hadapi. Saya telah berjanji untuk mengabdikan sisa umur hidup saya bagi suami dan Doni, putra saya. Semoga Tuhan mengampuni saya yang telah menyia-nyiakan amanah-Nya. Dan di setiap doa yang saya panjatkan, saya selalu memohon, “Ya Tuhan seandainya Engkau akan menghukum Maya karena kesalahannya, sungguh tangguhkan dan ampunilah ya Tuhan, biarkanlah buah hatiku tentram berada di sisi-Mu”. Semoga Tuhan mengabulkan doa saya.

Salam,

–RT@LintasME
(kisah nyata) dari seorang ibu yang baru saja kehilangan anak perempuannya http://t.co/IW4944Db
[ Dengan editan seperlunya.. ]

Pesan Moral: Seimbangkan hidup Anda. Firman Tuhan berkata, “Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya? Dan apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya?” (Matius 16:26). Apa gunanya kita dapat meraih semua kegemilangan dan kesuksesan yang kita damba dan cita-citakan di dunia ini, meski tidak ada yang salah dengan semuanya itu, tetapi kita justru kehilangan hal terpenting yakni hubungan yang erat dengan keluarga kita? Bagilah waktu Anda dengan berhikmat sedemikian rupa, agar kita tidak merasa kehilangan.. Ketika sesuatu yang sangat berharga, diijinkan Tuhan untuk kembali kepada-Nya..

“Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya.” (Pengkhotbah 3:1).

Man Plans and God Laughs

Standard

Punya anak dan punya status ayah mudah, tetapi menjadi ayah sungguh tidak mudah -Wilhelm Busch

Sebagai orangtua tunggal yang punya hak penuh mengasuh, hidupku sibuk–kadang sampai kewalahan. Aku mengajar di universitas, pulang rumah, memasak, membersihkan rumah, mencuci, membacakan cerita dan bermain dengan kedua anakku. Sebagai laki-laki, aku harus belajar mengerjakan semua hal yang biasa dikerjakan kaum wanita. Lebih dari itu, karierku sebagai pelatih dan penceramah menanjak secepat roket. Menyeimbangkan semua tanggung jawab itu membuatku stres, tapi aku sudah membuat komitmen pada diriku untuk menjadi guru terbaik, penceramah terbaik, dan yang paling penting, ayah terbaik.

Waktu itu pagi hari di musim dingin khas Cleveland, aku harus menyiapkan anak-anak sebelum mereka dititipkan ke nursery school–tempat penitipan anak. Aku harus memastikan pengasuh mereka datang hari itu, dan harus berkemas agar tidak ketinggalan pesawat. Anak-anak pun mulai rewel untuk menarik perhatianku dan membuatku tak bisa membereskan apa-apa. Akhirnya kesabaranku habis. Aku kehilangan kendali dan membentak mereka dengan wajahku yang merah padam.

Pengasuh anak-anakku membuang muka, merasa tidak enak. Anak-anak menangis. Aku mencoba mencium wajah mereka yang basah air mata, mengucapkan selamat tinggal. Anak perempuanku mendorongku menjauh, anak laki-lakiku berdiri tegak, kaku dan marah sekali. Merasa frustasi aku mengangkat bahu tak peduli dan segera mengebut ke bandara. Aku mencoba menganalisa sikapku dan membenarkannya, “Aku kerja keras sekali untuk anak-anak itu! Apakah mereka menghargaiku? Tidak!” Hatiku pun sesak.

Aku memarkir mobil, menyeret koperku ke kantor check-in, bergegas ke gate lalu naik pesawat yang terlihat sudah tua. Kami lepas landas menembus badai es yang mengamuk, meninggalkan Cleveland. Ketika pramugari berjalan sambil menating nampan penuh minuman ringan, tiba-tiba terdengar bunyi keras: BUUMM! Udara dalam kabin seperti tersedot sepanjang lorong di antara deretan kursi seperti pusaran angin puyuh. Masker oksigen pun terlontar dari tempat penyimpanannya. Sebuah pintu tiba-tiba copot dan kami saat itu berada kira-kira sebelas ribu kaki di atas Danau Erie yang beku. Pesawat miring dan menukik dengan tajam ke permukaan danau itu.

Aku melihat pramugari mencoba membuka pintu kokpit, tetapi pintu itu melengkung karena tekanan udara yang tersedot keluar sangat kuat. Ketika itu hanya ada dua pikiran di kepalaku. Pertama, karena aku belum menyiapkan surat wasiat, menurut hukum Negara Bagian Ohio anak-anakku akan kehilangan setengah hak warisan mereka. Kedua, kenangan terakhir mereka akan ayahnya adalah seorang lelaki berwajah merah padam berteriak-teriak memarahi mereka. Aku sangat menyesal. Bagaimana mungkin aku meninggalkan mereka seperti tadi?

Lalu aku mulai berdoa. “Ya, Tuhan. Jika Engkau selamatkan kami semua, aku berjanji tidak akan meninggalkan rumah sambil marah-marah, akan membuat anak-anakku selalu ingat bahwa aku sangat mencintai mereka dan mereka sangat berharga bagiku.” Tepat setelah selesai berdoa, aku merasa bahwa pesawat mulai terbang mendatar lagi. Aku yakin doaku dikabulkan. Pesawat pun berputar dan terbang kembali ke Cleveland. Lalu kami naik pesawat lain yang sejenis, dan akhirnya mendarat di Detroit.

Ketika kembali ke Cleveland, hal pertama yang kulakukan adalah meminta maaf pada anak-anakku dan memeluk mereka erat-erat. Kemudian aku pergi ke notaris dan membuat surat wasiat. Sejak saat itu aku selalu mengungkapkan cinta pada anak-anakku. Sebelum melakukan perjalanan jauh dan lama, aku selalu mengucapkan kata perpisahan yang kira-kira begini bunyinya, “Ayah ingin kalian tahu bahwa Ayah akan selalu mencintai kalian. Ayah selalu bangga dan bahagia menjadi Ayah kalian. Kadang Ayah marah karena perbuatan kalian, tetapi tak ada yang bisa membuat Ayah berhenti mencintai kalian!”

Mendengar itu, biasanya mereka memutar-mutar bola mata mereka dan mendesah seakan berkata, “Oh, haruskah kami mendengar pidato itu lagi?” Kadang-kadang mereka menirukan aku dengan suara melengking, “Ya, ya, kalian tahu bahwa Ayah akan selalu mencintai kalian.” Aku yakin, mereka suka mendengar kata-kataku. Suatu hari aku lupa mengucapkan pidatoku pada mereka. Mereka menghubungi telepon mobilku dan berkata, “Ayah, katakan Ayah mencintai kami!”

Pengalaman di pesawat itu mengajariku untuk menghargai hidupku dan orang-orang lain di sekitarku. Sekarang aku mengerti betapa berharga dan rapuhnya hidup ini dan bahwa kita tidak tahu apa yang akan terjadi esok hari. Mendiang ibuku selalu berkata, “Man proposes and God disposes–Manusia berencana dan Tuhan menentukan.” Tetapi sebenarnya ibuku lebih suka pepatah Yahudi yang lebih mengena. “Man plans and God laughs–Pria membuat rencana dan Tuhan tertawa.”

–Hanoch McCarty

“Jadi sekarang, hai kamu yang berkata: “Hari ini atau besok kami berangkat ke kota anu, dan di sana kami akan tinggal setahun dan berdagang serta mendapat untung,” sedang kamu tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Apakah arti hidupmu? Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap. Sebenarnya kamu harus berkata: “Jika Tuhan menghendakinya, kami akan hidup dan berbuat ini dan itu.”” (Yakobus 4:13-15).

Hei Nak, Aku Juga Mencintaimu

Standard

Anak-anakmu akan tumbuh menjadi seperti dirimu; karena itu jadikan dirimu seperti apa yang kau cita-citakan bagi mereka -David Bly

Kalau mau, aku bisa memberi selusin alasan. Aku lelah setelah seharian bekerja. Aku tidak siap. Atau aku lapar. Padahal yang benar adalah, waktu aku masuk ke ruang keluarga dan putraku yang berumur dua belas tahun memandangku sambil berkata, “Aku cinta Ayah,” aku tak tahu harus menjawab apa. Selama beberapa detik yang terasa lama, aku hanya dapat berdiri terpaku memandangnya, menunggu-nunggu tapi tak tahu apa yang ditunggu. “Dia pasti butuh bantuanku untuk mengerjakan PR-nya.” Itu yang pertama terlintas. Atau dia akan meminta uang sakunya lebih awal.

Akhirnya aku berkata, “Apa maumu?” Dia tertawa sambil berlari keluar ruangan. Tetapi aku berteriak, “Hai, apa-apaan ini?” Tanyaku sambil menuntut jawab. “Tidak, tidak,” balasnya sambil menyeringai “Guru kesehatan menyuruh kami mengatakan ‘aku cinta’ pada Ayah dan Ibu dan melihat bagaimana reaksinya. Ini semacam eksperimen.” Esok harinya aku menelepon gurunya untuk meminta informasi lebih banyak tentang eksperimen itu. Kecuali itu, jujur saja, aku ingin tahu bagaimana reaksi orangtua lainnya.

“Sebagian besar para ayah bereaksi sama dengan reaksi Anda,” kata guru anakku. “Waktu memberikan tugas eksperimen ini, saya tanya anak-anak bagaimana kira-kira reaksi orangtua mereka. Mereka semua tertawa. Malah ada yang bilang orangtuanya pasti akan kena serangan jantung waktu mendengar kata-kata itu.” Aku menduga beberapa orangtua pasti tidak suka gagasan ini. Bukankah tugas guru kesehatan adalah mengajar makanan yang bergizi atau cara menggosok gigi yang benar? Apa hubungannya mengucapkan “Aku cinta Ayah” dengan ilmu kesehatan? Bukankah itu ungkapan yang sangat pribadi antara orangtua dan anak-anaknya?

“Intinya adalah,” guru itu menjelaskan, “Merasa dicintai merupakan faktor penting dalam kesehatan. Merasa dicintai merupakan kebutuhan setiap manusia. Sayangnya, kita tidak terbiasa mengekspresikan perasaan-perasaan seperti itu.” Guru itu, seorang pria setengah baya, mengerti betapa sulitnya bagi sebagian dari kami untuk mengatakan hal-hal yang baik bagi kami. Katanya, ayahnya selalu mengungkapkan cintanya dengan kata-kata, tetapi dia sendiri tak pernah mengatakan cinta kepada ayahnya–tidak juga ketika ayahnya menjelang meninggal.

Banyak yang seperti itu di antara kita. Pria dan wanita yang dibesarkan oleh orangtua yang penuh cinta, tetapi tidak pernah mengatakan “Aku mencintaimu” kepada anak-anak mereka. Hal itu menjadi alasan umum yang mendasari tingkah laku kita. Tetapi sebagai alasan, itu tidak kuat. Generasi kita mencurahkan banyak perhatian agar bisa mengungkapkan bermacam-macam perasaan, agar bisa menyatakan emosi-emosi kita dengan kata-kata. Kita tahu bahwa anak-anak membutuhkan lebih banyak dari kita, bukan hanya makanan di meja atau pakaian di lemari. Ciuman seorang ayah terasa sama manisnya di pipi anak laki-laki maupun anak perempuan.

Seharusnya kita tahu apa yang harus dilakukan ketika anak laki-laki kita yang berumur dua belas tahun memandang kita dan berkata, “Aku cinta Ayah.” Malam itu ketika anakku minta dicium sebelum tidur–ciuman yang rasanya semakin hari semakin singkat–aku memeluknya sedetik lebih lama. Dan sesaat sebelum dia melepaskan diri, aku berkata dengan tulus dan mantap, “Hei, aku juga mencintaimu.” Aku tidak tahu apakah dengan mengucapkannya kami berdua menjadi lebih sehat, tetapi yang jelas perasaanku menjadi lebih nyaman. Lain kali jika salah satu anakku berkata, “Aku cinta Ayah,” aku tidak perlu menunggu satu hari untuk memikirkan dan memberi tanggapan yang tepat.

–D.L. Stewart

[ Pernah dimuat di Warta GMS Pusat 18 Desember 2011 ]

Mengapa Elang Terbang dan Kalkun Mengepak?

Standard

Elang dan Kalkun adalah dua ekor burung yang telah lama menjadi sahabat karib. Di mana pun mereka berada, kedua sahabat ini selalu pergi bersama. Tidak aneh bagi manusia untuk melihat Elang dan Kalkun terbang bersebelahan melintasi udara bebas. Suatu hari ketika mereka terbang, Kalkun berbicara pada Elang, “Mari kita berdua turun dan mendapatkan sesuatu untuk dimakan. Perut saya sudah kelaparan nih!” Dan Elang pun membalas, “Kedengarannya ide yang bagus”.

Kedua burung itu akhirnya melayang turun ke daratan dan melihat beberapa binatang lain sedang menikmati makan siangnya. Mereka pun memutuskan untuk bergabung. Mereka mendarat dekat dengan seekor Sapi yang sedang sibuk memakan jagung manisnya. Sewaktu memperhatikan bahwa ada Elang dan Kalkun sedang berdiri di dekatnya, Sapi berkata, “Selamat datang. Mari silahkan mencicipi jagung yang manis ini.” Ajakan ini membuat kedua sahabat tersebut terkejut. Mereka tidak biasa melihat ada binatang lain yang berbagi soal makanan dengan mudahnya. Elang bertanya, “Mengapa kamu begitu berbaik hati dan bersedia untuk membagikan jagung manis milikmu bagi kami?”

Sapi menjawab, “Oh, kami memiliki banyak makanan di sini. Tuan Petani memberikan apa pun yang kami inginkan untuk dimakan.” Mendengar jawaban itu, Elang dan Kalkun menjadi terkejut. Sebelum selesai, Kalkun menanyakan lebih jauh tentang apa yang dilakukan oleh Tuan Petani. Sapi menjawab, “Ya. Dia bekerja keras untuk menumbuhkan sendiri semua makanan. Kami sama sekali tidak perlu bekerja keras dan berpikir susah untuk makanan yang akan kami makan.”

Mendengar hal tersebut, Kalkun bertambah bingung. “Maksud kamu, Tuan Petani itu memberikan kepadamu semua yang ingin kamu makan?” Sapi menjawab, “Tepat sekali! Tidak hanya itu, dia juga memberikan pada kami tempat naungan untuk tinggal.” Elang dan Kalkun terkejut. Mereka belum pernah mendengar ada kejadian seperti ini. Selama ini mereka harus selalu bekerja keras mencari makanan dan bekerja mencari naungan untuk tempat tinggal mereka.

Ketika datang waktunya untuk meninggalkan tempat itu, Kalkun dan Elang mulai berdiskusi lagi tentang situasi yang mereka hadapi ini. Kalkun berkata kepada Elang, “Mungkin kita harus tinggal di sini. Kita bisa mendapat semua makanan yang kita inginkan tanpa perlu bekerja dengan keras. Gudang yang di sana pun cocok untuk dijadikan sarang, dan kita ngga perlu repot untuk membangun. Lagi pula, saya merasa lelah karena selalu bekerja untuk mempertahankan hidup.”

Elang mulai goyah mendengar jawaban Kalkun. “Saya tidak tahu tentang semua ini. Kedengarannya hal ini terlalu baik untuk diterima. Saya menemukan semua ini sulit untuk dipercaya bahwa ada pihak yang mau memberikan segala sesuatu tanpa berharap imbalan. Selain itu saya lebih suka terbang tinggi dan bebas mengarungi langit luas. Dan bekerja untuk menyediakan makanan dan tempat bernaung tidaklah terlalu buruk. Pada kenyataannya, saya menemukan hal itu sebagai tantangan yang menarik dalam kehidupan saya.”

Akhirnya Kalkun memikirkan semuanya dan dia memutuskan untuk menetap di mana ada makanan gratis dan juga tempat naungan. Elang tetap memutuskan bahwa ia amat mencintai kemerdekaannya dibanding menyerahkan dengan mudah begitu saja. Ia menikmati tantangan rutin yang membuatnya hidup. Setelah mengucapkan selamat berpisah kepada Kalkun teman lamanya, Elang menetapkan penerbangan untuk petualangan baru yang tidak ia ketahui bagaimana ke depannya.

Semuanya berjalan baik bagi Si Kalkun. Dia makan semua yang ia inginkan. Dia tidak pernah bekerja. Dia bertumbuh menjadi burung yang gemuk dan pemalas. Sampai suatu ketika dia mendengar bahwa istri dari Tuan Petani mengatakan bahwa “Hari Raya Thanksgiving” akan datang beberapa hari lagi. Alangkah indahnya jika ada hidangan kalkun panggang untuk dinikmati sebagai makan malam. Mendengar hal tersebut, si Kalkun memutuskan sudah waktunya untuk pergi dari pertanian dan bergabung kembali dengan teman baiknya, si Elang. Namun ketika dia berusaha untuk terbang, dia menyadari bahwa tubuhnya menjadi terlalu gemuk dan malas. Bukannya dapat terbang melayang tinggi, yang dia lakukan justru hanyalah mengepak-ngepakkan sayapnya. Akhirnya, di Hari Thanksgiving keluarga Tuan Petani duduk bersama untuk menikmati lezatnya daging kalkun panggang yang gemuk itu.

Ketika kita menyerah pada tantangan hidup yang harus kita hadapi, kita mungkin sedang menyerahkan kemerdekaan kita. Janganlah pernah menyerah, jangan pernah pesimis dalam menghadapi setiap tantangan hidup, serta tetaplah berharap dan mengandalkan Tuhan selalu. Ada pepatah kuno yang mengatakan, “Selalu ada keju gratis di dalam perangkap tikus.” Tuhan memberkati..

–sis Yanti (HR Excellency)